MAKALAH : Studi Sistem Etika Islam | Download Makalah Full Footnote dan Daftar Pustaka
File makalah ini tidak kami Upload melaikan hanya sebagai gambaran dan pembelajaranb saja. Terus berpikir dan mulailah berkretifitas.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Islam merupakan
salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau hubungan
personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada
perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua
aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan
sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah.
Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive)
kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai
makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika
sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka
janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.[1]
Fitrah
kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat ditawar,
dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam
bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu
dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah
barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama,
begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai
sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.[2]
Keberagamaan
dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konfrehenship dan seyogyanya
harus diposisikan sebagai
sebuah persfektif tanpa menapikan yang lain. Keberagamaan yang berbeda
(defernsial) antara satu dengan yang lainnya merupakan salah satu nilai luhur
kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam itu lahir dengan pondasi keimanan,
syariat, muamalat dan ihsan, Keimanan
adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan
menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah
keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan
harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.
Keberagamaan
manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai sebuah momentum guna
melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu sendiri. Maka
keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran itu bisa diraih
dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi dari “iman”. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia
memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga
memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk
dalam kategori “ihsan” yang secara
harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan
melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.[3]
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang dimaksud dengan etika dalam islam?
2.
Bagaimana studi etika dalam tradisi islam ?
3.
Bagaimana studi etika dalam rekonstruksi islam ?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui sistem etika didalam islam.
2.
Mengetahui bagaimana sistem etika islam dalam tradisi.
3.
Mengetahui bagaimana sistem etika islam dalam rekonstruksi.
Download Langsung Makalah Doc.
atau
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ETIKA DAN AKHLAK
Dalam tradisi filsafat istilah
“etika” lazim difahami sebagai
suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai
apa yang baik dan
apa yang buruk
berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal
budinya untuk menyusun teori
mengenai penyelenggaraan hidup yang
baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau
suatu masyarakat mulai ditinjau
kembali secara kritis. Moralitas berkenaan
dengan tingkah laku
yang konkrit, sedangkan etika
bekerja dalam level teori. Nilai-nilai
etis yang difahami, diyakini,
dan berusaha diwujudkan
dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Sebagai
cabang pemikiran filsafat,
etika bisa dibedakan manjadi dua:
obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai
kebaikan suatu tindakan
bersifat obyektif, terletak pada
substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa
yang disebut faham
rasionalisme dalam etika. Suatu
tindakan disebut baik,
kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena
sejalan dengan kehendak masyarakat,
melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita
untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung
aliran ini ialah
Immanuel Kant, sedangkan dalam
Islam –pada batas tertentu– ialah aliran Muitazilah.[4]
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan
bahwa suatu tindakan disebut
baik manakala sejalan dengan
kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja
berupa subyektifisme
kolektif, yaitu masyarakat,
atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme
etika ini terbagi
kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes
sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah. Menurut faham
Asy’ariyah, nilai kebaikan
suatu tindakan bukannya terletak
pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak
Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa manusia itu
bagaikan ‘anak kecil’
yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa
wahyu manusia tidak
mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.[5]
Kata “akhlak” (akhlaq) berasal
dari bahasa Ara,, meruakan bentuk jamak dari “khuluq” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku, atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan kata “khalq” yang berarti kejadian. Ibnu
“Athir menjelaskan bahwa khuluq itu
adalah gambaran batin manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifta
batiniah), sedang khalq meruakan
gambaran bentuk tunggal dari akhlak, tercantum dalam Al-Qur’an surah Qalam
[68]: 4, yang artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada diatas
budi pekerti yang agung”
Kata akhlak juga dapat ditemukan
dalam hadits yang sangat populer yang diriwayatkan oleh Imam Malik, yang
artinya : “Bahwasannya aku (Muhammad) diutus tidak lain untuk
menyempurnakan akhlak mulia.”
Secara terminologis, tedapat beberapa
definisi akhlak yang dikemukakan para ahli. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak
sebaga “kehendak yang dibiasakan:. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak
adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Sedang menurut
Abdullah Darraz mengemukakan bahhwa akhlak adalah”suatu kekuatan dalam kehendak
yang mantap yang membawa kecenderungan
kepada pemilihan ada pihak yang benar (akhak yang baik) atau pihak yang jahat
(akhak yang buruk)[6]
B.
SISTEM ETIKA DALAM ISLAM
Etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang
membahas tentang tindakan manusia, karenanya etika sering disebut sebagai
filsafat moral. Etika dan moral merupakan 2 hal yang beririsan, artinya ketika
kita berbicara tentang etika, maka kita pun sedang membahas bagaimana baik
buruknya perilaku seseorang sesuai dengan norma moral. Agama sebagai
salah satu sumber norma yang mendasari perilaku seseorang, mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan moral.[7]
Kalau
kita sepakati bahwa
etika ialah suatu kajian kritis rasional
mengenai yang baik dan yang buruk,
bagaimana halnya dengan teori
etika dalam Islam.
Sedangkan telah disebutkan di
muka, kita menemukan dua
faham, yaitu faham rasionalisme yang
diwakili oleh Mu’tazilah
dan faham tradisionalisme yang
diwakili oleh Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit
diingkari baik karena pengaruh Filsafat
Yunani ke dalam dunia Islam
maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an
sendiri yang mendorong
lahirnya perbedaan
penafsiran. Di dalam
al-Qur’an pesan etis selalu saja
terselubungi oleh isyarat-isyarat yang
menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan
dua ciri utama. Pertama,
etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika
Islam amat rasionalistik. Sekedar
sebagai perbandingan baiklah akan
saya kutipkan pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah
melakukan kajian terhadap berbagai
teori dan definisi
mengenai modernisasi, Inkeles
membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru
dan mencoba metode-metode baru; kesediaan
buat menyatakan pendapat; kepekaan pada
waktu dan lebih
mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau;
rasa ketepatan waktu yang
lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan
organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai
suatu yang bisa dihitung;
menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan
keyakinan pada keadilan
yang bias diratakan.
Rasanya
tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang
dikemukakan Inkeles dan diklaim
sebagai sikap modern
itu memang sejalan dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang
hubungan antara etika dan
moral, problem yang
seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang
bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori
etika yang bersifat rasional dan
universal. Islam yang mempunyai
klaim universal ketika
dihayati dan direalisasikan
cenderung menjadi peristiwa
partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan
konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini
akan menjadi pelik ketika dalam
waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja,
nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan
nilai keadilan dan kejujuran. Di
sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi
amat penting. Yakni
bagaimana mempertanggungjawabkan
suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif, tindakan mikro
dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin.
Dalam persfektif psikologi, manusia terdiri dari
tiga unsur penting yaitu, Id, Ego, dan Superego, sedangkan dalam pandangan
Islam ketiganya sering dipadankan dengan nafs amarah, nafs lawwamah, dan nafs
mutmaninah. Ketiganya merupakan unsur hidup yang ada dalam manusia yang akn
tumbuh berkembang seiring perjalanan dan pengalaman hidup manusia. Maka untuk
menjaga agar ketiganya berjalan dengan baik, diperlukan edukasi yang diberikan
orang tua kepada anaknya dalam bentuk pemberian muatan etika yang menjadi ujung
tombak dari ketiga unsur di atas. [8]Diantara
pemberiaan edukasi etika kepada anak diarahkan kepada beberapa hal di bawah
ini:
1.
Pembiasaan kepada hal-hal yang baik dengan contoh
dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam mecari
kebenaran dan sudah barang tentu sangat tergantung pada sisi historisitas
seseorang dalam hidup dan kehidupan.
2.
Bila anak sudah mampu memahami dengan suatu
kebiasaan, maka dapat diberikan arahan lanjut dengan memberikan penjelasan apa
dan mengapa dan yang berkaitan dengan hokum kausalitas (sebab akibat) Pada masa
dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang tua sebagai pengingat
dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak
anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan.
3.
Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begitu saja, peran orang tua sebagai pengingat dan
pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak
anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan.Pembiasaan kepada hal-hal
yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan
bahasa verbal dalam menyampaikan baik dan buruk sesuatu, manfaat dan
mudharatnya, sesat dan tidaknya.
C.
STUDI ETIKA DALAM TRADISI ISLAM
Etika berasal dari istilah
Yunani ethos yang mempunyai arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Adat
istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena
bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Bertolak dari pengertian tersebut, etika
berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan
menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam
kehidupan manusia pada umumnya. Berdasarkan perkembangan arti inilah kemudian
dikenal adanya etika perangai.
Etika perangai adalah adat
istiadat atau kebiasaan yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan
bermasyarakat di derah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika
perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan
hasil penilaian perilaku.
Contoh etika perangai:
berbusana adat, memakai baju batik (batik adalah ciri khas Indonesia), pergaulan muda mudi, perkawinan semenda,
upacara adat, dll
Ciri-ciri adat sebagai sistem
etika di masyarakat Indonesia adalah:
·
Berisi hal-hal yang harus dilakukan
·
Merupakan urusan komunitas atau kelompok
·
Peraturan-peraturan yang ada mencakup seluruh kehidupan
·
Sumber tidak pribadi
·
Jika sesuai dianggap wajar atau baik
·
Diturunkan dari generasi ke generasi
·
Dianggap memberi berkat.
·
Adanya sanksi-sanksi/reaksi masyarakat.
Walaupun etika yang bersumber
dari adat ini tidak diberikan sanksi tertulis, tetapi sanksinya lebih berat
karena pelanggaran etika dapat membawa perasaan tidak enak, tidak dipercaya,
dikucilkan, disindir, tidak disenangi dalam lingkungan tersebut, merasa kualat,
dll, dimana perasaan seperti ini kadang terasa lebih keras dan menyiksa
dibanding hukuman lainnya. Inilah yang disebut sebagai sanksi sosial.[9]
D.
REKONSTRUKSI ETKA ISLAM
Islam
di tinjau dari berbagai pendekatan merupakan agama yang paling modern dan sangat
cocok dengan abad kekinian. Wajah dinamisasinya telah tercantum dalam al-qur’an
dengan ungkapan Islam rahmatallil ‘alamin, dimana Islam merupakan rahmat bagi
seluruh alam, seluruh muslim bahkan seluruh umat manusia. Ini di karnakan
nilai-nilai keuniversalan terkandung didalam teks suci yang memuat
prinsif-prinsif yang bersifat transenden, fleksible dan dinamis serta
mengakomodir segala keberagaman di jagat raya. Inlah yang di maksud Islam
rahmat bagi sekalian alam.[10]
Namun, jalan yang di paraktekkan umat hari ini
memberi kesan bahwa Islam seolah-olah agama paling konservatif dan
fundamentalis, sehingga fanatisme diletakkan dengan amat mudah dalam Islam dan
muslim. Melihat peraktek beragama umat Islam akhir-akhir ini yang cendrung
kekanak-kanakan seperti sikap suka memfonis amal orang lain mengadili bahkan
mengkafirkan terhadap muslim lainnya. Hal ini hendaknya membuat kita duduk
sejenak dan merenungi dengan serius: adakah yang salah dengan Islam, yang
katanya agama sangat manusiawi, di sini kita mengajak segenap muslim berkaca
mendalam pada semua persoalan ini.
.Menilai islam sebagai agama
yang benar adalah kemestian, pernyataan ini bukanlah atas dasar sakralisasi
belaka akan tetapi berdasarkan telaah dari berbagai aspek kehidupan teutama
aspek historis yang berdasarka sebuah kesadaran sebagai manusia yang di adakan(
kausalitas) yang realita ajarannya memang tidak terbantahkan oleh jiwa yang
cendrung pada kebenaran (hanif), yang ajarannya itu pada tatanan prinsif
mengajarkan kedamaian, ketenangan, kesamaan keadilan serta kemerdekaan. Prinsif
yang ada setidaknya menjadi standarisasi dalam pelaksanaan dan penilaian
khususnya di wilayah profan, sedangkan wilayah sakral umumnya menjadi otoritas
Tuhan.
Al-qur’an sebenarnya meninggikan:
walaqad karramna bani Adam,( dan sesungguhnya telah kami muliakan anak Adam)(
Q.S,17:70). Pada masa pra Islam, tidak ada prihal tentang penghormatan martabat
anak Adam. Terlihat konsep anak adam sangat penting ( dalam Asghar aili
Engineer,2004:35) disini tidak memandang kasta, keturunan atau aliran akan
tetapi ia memotret manusia secara umum. Sebenarnya inilah dasar yang paling
kuat dari demokrasi modern dalam etika kehidupan.
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah oaring yang paling
bertakwa, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (Q.S,49:13)
Inilah yang oleh filsuf Islam, Ibnu Miskawaih
di sebut al-Hikmah al-khalidah yang menjadi judul sebuah bukunya yang kemudiaan
di terjemahkan kedalam bahasa Latin, menjadi ’’Sophia perennis’’. Dan yang
disebut “kebijakan abadi” itu tidak lain adalah fitrah Allah untuk manusia.
Jelas sudah bahwa Islam telah
mengedepankan prinsif-prinsif untuk memberi ruang kedamaian dalam keberagaman,
akan tetapi tidak jarang pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an di
bawa keruang yang sempit dan apatis oleh oknum agama tertentu, sebagai upaya
mendiskriditkan kebenaran yang orang lain pahami. Padahal
ketika mereka berpandangan demikian, secara jelas bahwa mereka telah melakukan
kontruksi terhadap hakikat pesan-pesan Tuhan yang di selaraskan dengan
pemahaman mereka. Maka, ketika itulah agama telah di bawa kewilayah ideologi,
sedangkan masuknya agama kewilayah ideology tidak lagi menjadikan agama sebagai
identitas yang murni, akan tetapi lebih cendrung pada kepentingan dari sebuah
ideology. Maka, timbullah watak isme-isme yang berujung pada pembenaran
komunal.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Secara garis besar, etika bisa
dibedakan manjadi dua: obyektivisme
dan subyektivisme. Yang pertama
berpandangan bahwa nilai kebaikan
suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri.
Faham ini melahirkan apa yang
disebut faham rasionalisme
dalam etika. Suatu tindakan
disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang
melakukannya, atau karena sejalan
dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme
universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu.
Aliran kedua
ialah subyektifisme, berpandangan
bahwa suatu tindakan disebut
baik manakala sejalan dengan
kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja
berupa subyektifisme
kolektif, yaitu masyarakat,
atau bisa saja subyek Tuhan.
2.
Islam telah mengedepankan prinsif-prinsif untuk memberi ruang kedamaian dalam keberagaman, akan tetapi tidak jarang pesan-pesan Tuhan
yang terdapat dalam al-Qur’an di bawa keruang
yang sempit dan apatis oleh oknum agama tertentu, sebagai upaya mendiskriditkan
kebenaran yang orang lain pahami. Padahal ketika mereka berpandangan demikian,
secara jelas bahwa mereka telah melakukan kontruksi terhadap hakikat
pesan-pesan Tuhan yang di selaraskan dengan pemahaman mereka
B.
SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.Kami selaku
penyusun makalah tersebut mengharapkan saran, dan ide yang bisa membangun, dan
melengkapi makalah tersebut.Dan jika ada kesalahan mohon dimaafkan.
DAFTAR PUSTAKA
NN, 2008. KONSEP ETIKA DALAM PANDANGAN ISLAM, Online : https://pascasarjanauin07.wordpress.com/2008/02/09/konsep-etika-dalam-pandangan-islam/ : Diakses 07 on February 9, 2008.
Amin Abdullah, STUDI AGAMA NORMATIVITAS DAN
HISTORITAS, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hal. V
NN, 2008. KONSEP
ETIKA DALAM PANDANGAN ISLAM, Online : https://pascasarjanauin07.wordpress.com/2008/02/09/konsep-etika-dalam-pandangan-islam/ : Diakses 07 on February 9, 2008.
Qomarudin Hidayat, ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN
RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI ,,,TURKI, (Jakarta :
Paramadina),
Qomarudin
Hidayat, ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI
KASUS DI TURKI, (Jakarta
: Paramadina),
Didiek Ahmadsupadie, 2011. PENGANTAR STUD ISLAM (Jakarta : Rajawali Pers) hal. 216
– 217
[1] Endang Sri Budi
Herawati, 2013. ETIKA DALAM AGAMA DAN ADAT ISTIADAT, Online (http://irasaffaghira.blogspot.co.id/2013/10/etika-dalam-agama-dan-adat-istiadat.html : diakses
pada Rabu, 02 Oktober 2013)
Ahmad
Mudlor, ETIKA DALAM ISLAM, (Surabaya : Al-Ikhlas), hal. 155
Endang
Sri Budi Herawati, 2013. ETIKA DALAM AGAMA DAN ADAT.
Tamimi Ahmad. Rekonstruksi Etika Beragama Online, (https://armadhany.wordpress.com/rekonstruksi-etika-beragama/)
[1] NN, 2008. KONSEP ETIKA DALAM PANDANGAN ISLAM, Online : https://pascasarjanauin07.wordpress.com/2008/02/09/konsep-etika-dalam-pandangan-islam/ : Diakses 07 on February 9, 2008.
[2] Amin
Abdullah, STUDI AGAMA NORMATIVITAS DAN HISTORITAS, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2002) hal. V
[3] NN, 2008. KONSEP ETIKA DALAM
PANDANGAN ISLAM, Online : https://pascasarjanauin07.wordpress.com/2008/02/09/konsep-etika-dalam-pandangan-islam/ : Diakses 07 on February 9, 2008.
[4] Qomarudin
Hidayat, ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI
KASUS DI ,,,TURKI,
(Jakarta : Paramadina),
[5] Qomarudin
Hidayat, ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI, (Jakarta : Paramadina),
[6] Didiek Ahmadsupadie, 2011. PENGANTAR STUD ISLAM (Jakarta : Rajawali Pers) hal. 216
- 217
[7] Endang
Sri Budi Herawati, 2013. ETIKA DALAM AGAMA DAN ADAT ISTIADAT, Online (http://irasaffaghira.blogspot.co.id/2013/10/etika-dalam-agama-dan-adat-istiadat.html : diakses
pada Rabu, 02 Oktober 2013)
[8] Ahmad Mudlor, ETIKA DALAM ISLAM, (Surabaya :
Al-Ikhlas), hal. 155
[9] Endang Sri
Budi Herawati, 2013. ETIKA DALAM AGAMA DAN ADAT ISTIADAT, Online (http://irasaffaghira.blogspot.co.id/2013/10/etika-dalam-agama-dan-adat-istiadat.html : diakses
pada Rabu, 02 Oktober 2013)
[10] Tamimi Ahmad. Rekonstruksi Etika Beragama Online, (https://armadhany.wordpress.com/rekonstruksi-etika-beragama/)
[11] Tamimi
Ahmad. Rekonstruksi Etika Beragama Online, (https://armadhany.wordpress.com/rekonstruksi-etika-beragama/)
Download Langsung Makalah Doc.
atau
MAKALAH : Studi Sistem Etika Islam | Download Makalah
4/
5
Oleh
AntonTasik